TUGAS 1
Konsep Kewarganegaraan di Indonesia
Wacana Kewarganegaraan (Ganda) telah
menjadi isu vital dan sensitif dalam sejarah Indonesia sebagai negara berdaulat
karena menyangkut identitas bangsa. Sumpah pemuda 1928 telah
membangkitkan semangat nasionalisme yang membawa Indonesia merdeka (1945).
Namun, Kemerdekaan yang sama juga membawa dilema bagi perkembangan konsep
kewarganegaraan di Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki setidaknya dua pilihan,
pertama, berkaca pada sejarah leluhur sebelum masa penjajahan. Kedua, berkaca
pada sejarah penjajahan. Tampaknya, kita memilih pilihan kedua. Bagaimana
dengan pilihan pertama?
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar dan terbuka sejak ratusan tahun silam.
Rempah -rempah Nusantara telah di perdagangkan hingga ke Kaisaran Romawi lebih
dari 2500 tahun silam melalui perantara pedagang Gujarat dan Persia.
Kepulauan Nusantara telah menjadi jalur penting perdagangan Internasional sejak
dulu kala. Karenanya, zaman keemasan Indonesia, justru terjadi pada abad 13,
dengan keberhasilan Majapahit mendapatkan pengakuan kedaulatan atas konsep
“Nusantara,” yang mendasari bentuk NKRI sekarang ini.
Yang
menakjubkan dari perjalanan sejarah Kepulauan terbesar di dunia ini adalah,
konsep warganegara dan negara juga telah lahir sejak zaman itu, dengan di
adopsinya kata nagari (bahasa Sansekerta) sebagai negara-kota, dan warga
yang berarti grup, divisi, atau kelas.
Artinya,
konsep ini tidak di adopsi dari kebudayaan kolonial semata, kendati konsep
dasar antara citizen dan warganegara adalah serupa.
Berdasar pada perjalanan sejarah ini, sudah seharusnya Indonesia mampu
mengembangkan konsep Kewarganegaraanya setingkat lebih maju. Kemajuan ini di
tandai dengan adanya keterlibatan menyeluruh Warga Negara Indonesia dalam aspek
politik, ekonomi dan sosial. Namun, penjajahan telah memengaruhi arah
perkembangan konsep kewarganegaraan di Indonesia menjadi tertutup dan
protektif, terlebih ketika dunia memasuki perang dingin. Indonesia yang multi
etnis pun merasa terancam dengan keberadaan para etnis Cina yang di jamin hak
Kewarganegaraannya oleh Mao Tze Dong, dengan pernyataan terkenal nya “ setiap
orang Cina di muka bumi ini adalah warga negara Cina.” Kita pun memahami
apa yang terjadi pada Etnis ini di Indonesia, hingga gelombang perubahan
Internasional terjadi lagi paska perang dingin (1991-2000) yang menghantam
Indonesia dengan keras: krisis ekonomi, lepasnya Timor -Timur, dan tentunya
pergantian rezim. Paska Perang Dingin menandai era keterbukaan dan penghargaan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap bangsa yang tidak menjungjung HAM,
akan dikucilkan di dunia Internasional. Indonesia pun mengambil inisiatif
serupa dengan memasukkan pasal HAM dalam konstitusinya. Akan tetapi, konsep
kewarganegaraan sebagai salah satu dimensi hukum yang menjamin tegaknya HAM,
tidak mengalami perkembangan berarti (pasal 26 UUD 1945). Logikanya, HAM
menjadi milik hakiki setiap manusia. Namun, penegakkannya membutuhkan sistem
yang berlaku baik secara lokal maupun global.
Dalam
tataran lokal ataupun nasional, perangkat hukum yang mengatur hubungan antara
warganegara dan negaralah yang diharapkan mampu melindunginya. Di Indonesia,
hal ini belum menyeluruh yang bisa di lihat melalui pengaturan hak dan kewajiban
warganegara dalam memenuhi fungsi ekonomi dan sosial ( misal Undang -Undang
Pokok Agraria 1964 yang membatasi kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga
negara Indonesia yang menikah dengan orang asing, Undang -Undang tentang
Keimigrasian 7/2011, tentang tata cara kehilangan kewarganegaraan secara tidak
sukarela. Apabila asas kehilangan tidak rela ini di batasi atau di tiadakan
(yang artinya setiap WNI tidak bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesianya),
maka para WNI terlebih para migran, akan lebih leluasa untuk memberi kontribusi
pada pembangunan Indonesia.
Dalam
tataran global, Indonesia seharusnya lebih aktif dalam meningkatkan
wibawa hukum nasional dengan menjadi bagian dari perjanjian hukum
internasional. Sejauh ini, Indonesia belum menjadi anggota dari beberapa
perjanjian hukum Internasional yang vital bagi penegakkan HAM.
TUGAS
2
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam
kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak
untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang
demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan
(bahasa Inggris: citizenship). Di dalam
pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota
atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik.
Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing
satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi
warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang
membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk
memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum
merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak
berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik
tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori
kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan
kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga
negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas
melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai
kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar
pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan (bahasa Inggris: Civics) yang
diberikan di sekolah-sekolah.
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang
diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan
diberikan Kartu Tanda
Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar
sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang
unik (Nomor Induk
Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan
diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh
negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam
tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no.
12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini,
orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
- setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut
telah menjadi WNI
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah
dan ibu WNI
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
- anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari
seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum
negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak
tersebut
- anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu
seorang WNI
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu
WNI
- anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu
WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia
yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
- anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah
negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
- anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia
apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya
- anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik
Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat
anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang
bersangkutan
- anak dari seorang ayah atau ibu yang telah
dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
- anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah,
belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya
yang berkewarganegaraan asing
- anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang
diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
- anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya
memperoleh kewarganegaraan Indonesia
- anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat
anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang
yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
- Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin,
berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau
ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
- Anak warga negara asing yang belum berusia lima
tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai
anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti
tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik
Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara
sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak
berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan
pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU
Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara
terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai
usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada
Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik
Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan
kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11)
TUGAS 3
ASAS - ASAS KEWARGANEGARAAN INDONESIA
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006
menyebutkan, Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan
warga negara. Dan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini tengah memuat
asas-asas kewarganegaraan umum ataupun universal. adapun asas-asas yang dianut
dalam undang-undang ini antara lain :
1. Asas Ius Sanguinis (law of blood) merupakan asas
yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas Ius Soli (law of the soil) secara terbatas
merupakan asas yang menetukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara
tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
3. Asas Kewarganegaraan Tunggal merupakan asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas Kewarganegaraan Ganda terbatas merupakan
asas yang menetukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang kewarganegaraan pada dasarnya tidak
mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya
kewarganegaraan seorang anak hanya apabila anak tersebut tidak memiliki
hubungan hukum dengan ayahnya, dan hilangnya kewarganegaraan ayah atatu ibu
tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan seorang anak menjadi hilang.
Berdasarkan undang-undang ini anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai Warga
Negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak
berusia 18 tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menentukan
pilihannya, dan pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling
lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan
perkembangan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. Namun
perlu di telaah, apakah pemberian dua kewarganegaraan ini akan menimbulkan
permasalahan baru dikemudian hari atau tidak, karena bagaimanapun memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk kepada dua yurisdiksi, dan apabila dikaji
dari segi hukum perdata internasional kewarganegaraan ganda memiliki potensi
masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas
nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara
nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lainnya
tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila terdapat
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan
status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana, dan bagaimana
bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain.
TUGAS 4
SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
Sebagai mata
pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah mengalami perkembangan
yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun substansinya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam substansi kurikulum PKn yang sering berubah dan tentu saja
disesuaikan dengan kepentingan negara. Secara historis, epistemologis dan
pedagogis, pendidikan kewarganegaraan berkedudukan sebagai program kurikuler
dimulai dengan diintroduksikannya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA
tahun 1962 yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata pelajaran
Civics ataukewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman belajar yang
digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi, ekonomi, dan politik,
pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi manusia, dan pengetahuan tentang
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri, 1969:7). Istilah Civics tersebut secara
formal tidak dijumpai dalam Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun
1946. Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat
mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946 terdapat
mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan pengetahuan
mengenai pemerintahan.
Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298)
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcationdengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)
Dalam perkembangan Kurikulumnya, Pendidikan Kewarganegaraan beberapa kali diperbaharui. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. Kemudian, Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam dunia Perguruan Tinggi. Hal ini ditetapkan pada Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, menentukan antara lain:
1. Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK.
2. MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti PT di Indonesia.
3. mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada PT untuk program Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
Hal ini menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia yang ikut berpatisipasi dalam membangun bangsa.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadiKewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut :
(a) Kewarganegaraan (1956)
(b) Civics (1959)
(c) Kewarganegaraan (1962)
(d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e) Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)
(g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
http://my.opera.com/karuniayenisusilowaty/blog/2012/11/12/sejarah-perkembangan-pendidikan-kewarganegaraan-di-indonesiaKemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai (interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945. Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia (Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1). Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan (Somantri, 2001:298)
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcationdengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97)
Dalam perkembangan Kurikulumnya, Pendidikan Kewarganegaraan beberapa kali diperbaharui. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. Kemudian, Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam dunia Perguruan Tinggi. Hal ini ditetapkan pada Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, menentukan antara lain:
1. Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK.
2. MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti PT di Indonesia.
3. mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada PT untuk program Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
Hal ini menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sangat dibutuhkan oleh para mahasiswa dalam mengembangkan jati dirinya sebagai warga negara Indonesia yang ikut berpatisipasi dalam membangun bangsa.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994 mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development (Taba,1967). Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila. Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari (Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah nama menjadiKewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum tahun 2006 ini dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut :
(a) Kewarganegaraan (1956)
(b) Civics (1959)
(c) Kewarganegaraan (1962)
(d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e) Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)
(g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konsep. Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
TUGAS 5
Kewarganegaraan
Ganda Anak Kawin Campur
Persoalan
dibelakang dari akibat perkawinan campur salah satunya adalah masalah
kewarganegaraan anak. Seperti kita ketahui kalau Indonesia merupakan negara
penganut Single Citizenship jadi warga negaranya tidak bisa menganut dua
kewarganegaraan sekaligus. Perihal pada anak hasil kawin campur, mereka
diizinkan memiliki kewarganegaraan ganda sampai pada batas umur tertentu.
Pemberian
kewarganegaraan ganda pada anak hasil kawin campur sekarang ini sudah merupakan
kemajuan karena sebelumnya peraturan itu belum lahir. Memutuskan penetapan
kewarganegaraan bagi anak hasil kawin campur itu tidak mudah bagi saya. Walau
secara kasat mata negara suami lebih kaya dan makmur tapi pemilihan
kewarganegaraan ini bukan masalah makmur atau tidaknya dari negara si orang
tua. Ini bisa menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak.
Saya
ingin pemerintah Indonesia memberikan kewarganegaraan ganda secara penuh seumur
hidup bagi anak hasil kawin campur sehingga mereka bisa menikmati dua budaya
orang tuanya secara bebas. Mereka bisa keluar masuk dua negara orang tuanya
dengan bebas tanpa prosedur yang lama dan berbelit. Tak perlu menunggu
mengajukan visa atau antri di barisan turis saat mereka di imigrasi bandara
untuk memasuki negara orang tuanya.
http://hukum.kompasiana.com/2012/12/31/kewarganegaraan-ganda-anak-kawin-campur-520366.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar